Oleh : Jejen Rukmana S.Pd. M.Pd
Berakhir sudah Ujian Nasional yang selama ini diperdebatkan pelaksanaannya. Untuk sementara waktu anak-anak bisa bernapas lega, Unas yang selama ini menjadi fokus perhatian telah terlewati dengan mulus. Walau hasilnya belum tahu pasti apakah akan memuaskan atau bahkan sebaliknya. Unas pada tahun ini di Pontianak berjalan dengan lancar. Isu kebocoran naskah soal dan kuncinya masih merupakan hal yang harus diinvestigasi lebih jauh. Apakah memang terjadi demikian atau hanya isu yang dibuat oleh orang yang hanya memikirkan keuntungan finasial tanpa memikirkan anak bangsa yang harus dididik dengan kejujuran.
Namun terlepas benar atau tidaknya telah terjadi kebocoran naskah soal Unas bagi kita pasti ada makna yang harus digal oleh para pendidik, kepala sekolah dan bahkan oleh Dinas Pendidikan sekalipun. Paling tidak ada pertanyaan yang harus dijawab bersama. Yakni mengapa naskah soal harus dibocorkan? (tulisan ini tidak bicara mekanisme distribusi pengiriman naskah soal Unas). Pasti ada sesuatu yang sedang terjadi atau bahkan sesuatu yang salah dalam dunia pendidikan. Penulis mencoba untuk menganalisa serta menjawab sejauh pemikiran penulis sendiri yakni pertama adanya ketidakpercayaan kepada proses belajar dalam kelas. Kedua pemahaman akan sebuah kejujuran yang masih lemah. Ketiga adanya peluang bisnis (walaupun kotor) oleh orang-orang tertentu.
Ketidakpercayaan pada proses belajar mengajar mungkin bisa terjadi. Guru tidak memahami subtansi bahan yang mestinya diajarkan. Ketika anak bertanya, gurunya tidak bisa menjawab atau mungkin bisa menjawab tapi melebar kemana-mana akhirnya siswa memahaminya bahwa guru memang tidak bisa menjawab. Pemahaman yang dimiliki guru masih sebatas ilmu dan pengetahuan hasil yang didapat saat kuliah dulu, sementara anak didik sudah melanglang buana di dunia maya mencari inti bahan ajar yang diberikan dan ternyata disana sangat banyak.
Ketidakpercayaan juga bisa timbul dari lemahnya komitmen guru terhadap pekerjaan. Terjadang ada oknum guru yang sering terlambat datang setelah itu tidak ada kata maaf yang terucap atas keterlambatannya, sementara kalau siswa terlambat luar biasa garangnya menampakan keakuannya. Siswa dihukum dengan berbagai macam hukuman. Hukuman yang diberikan kepada anak tidak akan menjerakan malahan anak kebal dan terus akan terlambat. Hal ini disebabkan tidak adanya sinkronisasi antara hati nurani dengan perbuatan. Yang kedua, pemahaman akan sebuah kejujuran belum optimal dilaksanakan. padahal modal dalam segala kegiatan/kehidupan adalah kejujuran (tidak bohong). Saya teringat dengan sebuah cerita di sebuah perkampungan ada seorang anak selalu berteriak minta tolong karena akan deterkam binatang buas, begitu mendengar teriakan orang-orang sekampung pada datang untuk menolongnya, tetapi apa yang dilihat ternyata anak tersebut bergurau/berbohong. Suatu hari anak tersebut melakukan hal yang sama beberapa kali. Pada suatu saat anak tersebut berteriak lagi minta tolong karena benar bertemu dengan binatang buas, namun orang sekampung tidak peduli lagi karena pasti anak itu main-main (berbohong). Akibatnya anak tersebut benar-benar diterkam binatang buas. Melihat kisah tersebut betapa kejujuran sangat berharga.
Demikian juga di sekolah nilai-nilai kejujuran harus mulai ditanamkan. sehingga dalam menjelang Unas nilai kejujuran anak muncul dengan sendirinya, maka tidak perlu lagi memburu naskah soal atau bahkan kunci jawaban yang belum tentu kebenarannya sebelum Unas. Nilai-nilai kejujuran harus dilakukan secara masif, bergerak bersama-sama seluruh komponen pendidikan, kepala sekolah, guru, tata usaha, satpam, tukang kebun, penjaga malam, petugas kebersihan yang disadari atau mereka dilihat setiap hari oleh anak-anak didik. Tidak menutup kemungkinan mereka dijadikan model juga dalam hal kejujuran.
Ketiga adalah peluang bisnis kotor. Melihat kenyataan bahwa anak-anak tidak percaya lagi kepada guru (sekolah) mereka akan mencari orang lain, tempat lain yang dapat menentramkan hatinya ketika ada kegelisahan. Maka oknum yang berpikiran kotor mencoba menggunakan peluang ini untuk memudahkan anak mengerjakan soal dan akhirnya lulus dengan instan tanpa proses perjuangan yang mengedepankan kemampuan diri yang selama tiga tahun telah dibentuk.
"Penulis, Kepala SMA Negeri 5 Pontianak : Tergabung dalam Komunitas Guru Menulis Kalbar"
Sumber : Pontianak Post Hal 8 (Minggu, 28 Maret 2010)
Tahun ini SMA Negeri 1 Ketapang sudah melepas sandang sebagai "100%" lulus....wkwkwkwkwkwk apa tahun kemarin ada kecurangan ea???